Budaya malu di negeri yang berpredikat sebagai negara hukum ini kini semakin langka. Para pembuat, pelaksana, dan penegak hukum banyak terlibat kegiatan transaksional seperti tukar-menukar (barter) kepentingan, jual-beli pasal, bahkan mengorbankan kepentingan bangsa demi kepentingan sendiri, keluarga, atau partai. Perilaku hukum seperti itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Ditarik ke belakang, eksisnya penyelenggara negara “gagap hukum” dan “tuna malu” tidak lepas dari pendidikan yang diberikan oleh orang tua maupun guru. Pendidikan Pancasila pada era Orde Baru yang terkesan doktriner dan politis disambung pendidikan tanpa Pancasila di era Orde Reformasi berpengaruh signifikan terhadap karakter penyelenggara negara saat ini.

Mestinya, Pancasila diajarkan bukan sekadar sebagai pengetahuan, melainkan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jujur, tertib, dan taat pada hukum merupakan beberapa contoh konkret pengamalan Pancasila. Untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila diperlukan sinergitas antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Sayang, di Indonesia sinergitas dan kontinuitas itu tidak ada.

Sesungguhnya budaya malu selalu bergandengan tangan dengan komunikasi, kekeluargaan, dan nilai-nilai Pancasila. Apabila hilang salah satunya maka hilang pula lainnya. Itulah realitas konkret yang kita hadapi, yakni kehidupan bernegara hukum tanpa budaya malu.