Jati Diri Manusia Indonesia dalam Perspektif Pembentukan Karakter Bangsa

Sosial & Politik

Share this :

Penulis: Tim MGB UGM

ISBN: 979-420-890-6

Dilihat: 7617 kali

Stock: 23

Ditambahkan: 03 December 2015

Manusia sebagai insan bila dicermati, sifat dan perilakunya ada yang positif dan ada pula yang negatif. Gerak dinamis senantiasa melekat dalam kehidupannya. Baik sebagai pribadi, kelompok, bahkan bangsa, manusia memainkan peranan penting dalam membuat sejarah kebangkitan atau keruntuhan bangsanya. Keterpaduan unsur internal berupa: pandangan hidup, tekad, semangat, dan kehendak dengan unsur eksternal yakni lingkungan (fisik maupun sosial), senantiasa mewarnai dan mengantarkan kehidupannya menjadi lebih beradab dan berbudaya atau runtuh berantakan sebagai bangsa yang tak berbudaya.

Rp61.800,00

Rp103.000,00

Manusia sebagai insan bila dicermati, sifat dan perilakunya ada yang positif dan ada pula yang negatif. Gerak dinamis senantiasa melekat dalam kehidupannya. Baik sebagai pribadi, kelompok, bahkan bangsa, manusia memainkan peranan penting dalam membuat sejarah kebangkitan atau keruntuhan bangsanya. Keterpaduan unsur internal berupa: pandangan hidup, tekad, semangat, dan kehendak dengan unsur eksternal yakni lingkungan (fisik maupun sosial), senantiasa mewarnai dan mengantarkan kehidupannya menjadi lebih beradab dan berbudaya atau runtuh berantakan sebagai bangsa yang tak berbudaya.

Menurut founding fathers, kosmologi manusia Indonesia sebenarnya cenderung bersifat kekeluargaan. Berhubung dengan hal itu, maka di dalam UUD 1945 diletakkan dasar-dasar kehidupan kekeluargaan itu dalam berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dan sebagainya. Akan tetapi diingatkan pula bahwa “Meskipun disusun Undang-Undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara Negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang-Undang Dasar tersebut bisa jadi tidak ada artinya dalam praktek”.

Tampaknya kekhawatiran dan peringatan para founding fathers itu kini menjadi kenyataan. Kesadaran tentang kemajemukan dalam bingkai kekeluargaan (bhinneka tunggal ika) yang sebenarnya sudah muncul sejak zaman pra kemerdekaan dan relatif terpelihara di era Orde Lama, pada gilirannya mengalami degradasi cukup tajam sejak tampilnya rezim Orde Baru, dan semakin parah di era Orde Reformasi. Kebhinekaan dan kekeluargaan justru disalahartikan dan dipersempit untuk mempertegas batas identitas antar individu, kelompok, partai atau golongan, bahkan, terkait dengan pemilihan kepala daerah sampai mengerucut pada persoalan putera asli daerah atau tidak. Lebih luas dari itu, pada tataran sosiologis, setiap hari terjadi bentrok antar warga, antar geng, antar kelompok masyarakat, bahkan antar lembaga Negara. Bagaikan di rimba belantara, saudara-saudara kita sebagai komponen bangsa saling menerkam satu terhadap yang lain (homo homini lopus). Seolah-olah cara-cara keji itu merupakan pilihan satu-satunya agar dirinya bisa survive dalam kehidupan ini.