Membaca autobiografi Sampurno, saya jadi teringat sepak terjangnya sewaktu masih kuliah dan bekerja di BPOM. Saya hanya berselisih satu angkatan dengan dia dan bersama-sama aktif di HMI sehingga hampir semua aktivitasnya di kampus saya tahu, mulai dari aktivitas akademik sampai masalah pribadi seperti siapa mahasiswi yang dekat dengan dia. Bahkan, saya menjadi wakil keluarganya untuk memberikan sambutan dari pihak keluarga pria sewaktu Sampurno menikah di Tegal. Demikian juga sewaktu dia bekerja di BPOM, saya tetap berkomunikasi dengannya. Saya berharap autobiografi ini bisa memberi semangat kepada generasi mahasiswa sekarang bahwa soft skill perlu dibangun dan dilatih sewaktu mahasiswa karena bisa sangat berguna dalam menggapai karier nantinya.

—Prof. Dr. Marchaban, mantan Dekan Fakultas Farmasi UGM

Penulis yang saya kenal sejak lebih dari 45 tahun yang lalu ini memang mempunyai kemampuan mengaktualisasikan sesuatu dengan memesona dan begitu juga halnya dengan apa yang tersaji di dalam autobiografi dan catatan kecil Dari Kampus Biru Merintis Berdirinya Badan POM RI ini. Sungguh sesuatu yang menginspirasi dan enak dibaca serta dapat memperbesar keyakinan akan kasih sayang Tuhan.

—Drs. Sukiman Said Umar, Apt., mantan Direktur Inspeksi Obat Tradisional, Kosmetika, dan Suplemen Makanan Badan POM RI

Saya mengenal Sampurno muda pada tahun 1970, ketika kami sama-sama masuk Fakultas Farmasi UGM. Dia dikenal karena kefasihannya berpidato dan kemampuannya menyampaikan gagasan secara jelas dengan logika yang runtut. Selanjutnya, saya mengenalnya sebagai sosok yang memiliki integritas, pejuang yang humanis, dan pemimpin yang memberi inspirasi kepada semua staf untuk bersama-sama memajukan institusi Badan POM. Pada peristiwa mi dan bakso dicampur formalin, kata yang sering diucapkan dan selalu saya ingat ialah, “Kita harus mencegah rakyat kecil menyakiti rakyat kecil lainnya”.

—Drs. Ruslan Aspan, Apt., M.M., mantan Deputi 2 Badan POM RI