Tanggal Posting

  • July 09, 2021

Share

DISKUSI “PEREMPUAN DALAM REVOLUSI DIGITAL: PETA PERMASALAHAN & URGENSI DIGITAL”

DISKUSI “PEREMPUAN DALAM REVOLUSI DIGITAL: PETA PERMASALAHAN & URGENSI DIGITAL”

Serial Diskusi Buku “Perempuan dan Literasi Digital”
Jumat, 9 Juli 2021

Departemen Ilmu Komunikasi UGM menyelenggarakan diskusi bertajuk “Perempuan dalam Revolusi Digital: Peta Permasalahan & Urgensi Literasi Digital” pada Jumat, 9 Juli 2021 yang membedah buku “Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem Hambatan dan Arah Pemberdayaan” terbitan UGM Press. Diskusi ini merupakan seri pertama dari tiga diskusi atas buku “Perempuan dan Literasi Digital” yang akan diselenggarakan Program Magister Departemen Ilmu Komunikasi UGM.

Diskusi yang berlangsung secara daring ini mengundang editor dan dua penulis buku tersebut, yang juga merupakan dosen di Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM, sebagai narasumber. Mereka adalah Rahayu, Novi Kurnia, dan Widodo Agus Setianto. Hadir pula pembahas dari Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba), Santi Indra Astuti, dosen sekaligus anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi). Bertindak sebagai moderator adalah Astrid Permata Leona, alumni Program Magister Dikom UGM.

Diskusi dimulai dari pemaparan Rahayu selaku editor buku mengenai gambaran besar dari buku tersebut. “Buku ini mengangkat relasi dan persoalan perempuan dengan media digital, dalam melihat persoalan ini literasi digital dipandang oleh para penulis sebagai solusi penting,” ujar Rahayu yang saat inimenjabat sebagai ketua Prodi Magister di Dikom UGM.

Dalam penjelasannya, Rahayu menyebutkan bahwa ada dua persoalan yang dihadapi perempuan saat ini. Pertama, berkaitan dengan kesenjangan digital, terutama berkaitan dengan penggunaan telepon seluler ke mobile internet dan media sosial. Kesenjangan ini terjadi di berbagai negara, terutama di negara dunia ketiga dan wilayah pedesaan.

Kedua, adalah tentang gambaran perempuan di media. “Perempuan, khususnya remaja banyak menggunakan media sosial sebagai referensi. Sayangnya, apa yang tersaji dalam media digital tidak selalu informasi yang benar,” tambah Rahayu.

Menurut Rahayu, penggambaran diri perempuan di media pun tidak akurat dan sering menjadi objek eksploitasi. Media, oleh penulis, sering dianggap tidak peka terhadap perempuan terutama ketika meliput isu-isu kekerasan dan lebih menonjolkan sisi sensasional.

Dilanjutkan oleh Novi Kurnia yang menyebutkan bahwa posisi perempuan dalam konteks literasi digital dapat menjadi objek dan juga subjek karena perempuan memiliki identitas yang interseksional. Sebagai objek, perempuan kerap diposisikan sebagai khalayak sasaran beragam program literasi digital karena posisinya yang rentan.

Di sisi yang lain, sebagai subjek, perempuan juga banyak ditemukan sebagai pegiat program literasi digital yang pemberdayaannya berdampak pada masyarakar luas. “Di Japelidi sendiri, 80% anggota yang aktif adalah perempuan,” tambah Novi, yang juga berlaku sebagai Koordinator Nasional Japelidi.

Dalam tulisannya, Novi juga memetakan ada 13 dimensi yang berlaku sebagai faktor penyebab kesenjangan digital, yakni terkait akses, pendidikan, dan lain-lain. Menurutnya, jika pergerakan literasi digital dimulai dari dua dimensi saja, misalnya, kecakapan literasi digital dan pendidikan, perempuan akan lebih banyak lagi memasuki ruang-ruang penting dalam pengembangan literasi digital di Indonesia.

Widodo Agus Setianto, dalam pemaparannya menyebutkan tentang adanya perubahan signifikan pada data penggunaan internet di Indonesia selama satu dekade. Widodo pun mempertanyakan, “Apakah ada kesiapan infrastruktur dan kesiapan masyarakat di tengah lonjakan penggunaan internet?” Menurut Widodo, itu lah mengapa pemberdayaan perempuan melalui gerakan literasi digital menjadi penting dan menjadi solusi untuk menutup kesenjangan ini.

Menurut pembahas dalam seri ini, Santi Indra Astuti, bernasnya buku ini dimulai sejak kata pengantar. “Kata pengantar itu sendiri sudah merupakan sebuah tulisan yang memetakan, bukan saja arah ke mana buku ini berjalan, tapi [merupakan] peta jalan dari literasi digital yang diinginkan untuk memberdayakan perempuan Indonesia,” ujarnya.

Bagi Santi, peta literasi digital tidak bisa lagi bergantung pada faktor kepemilikan gawai, kompetensi fungsionalnya, dan sebagainya, tetapi juga terkait dengan faktor sosio-kultural di sekitar kita. “Dengan adanya peta permasalahan ini, ketika dikaitkan dengan indeks sosio-kultural kita, itu bisa menjadi amunisi untuk membuat gerakan yang game changer di tengah komunitas,” tambah Santi.

Total ada 13 penulis yang mengangkat persoalan tentang perempuan dan literasi digital dengan tiga bagian utama. Bagian pertama adalah tentang potret persoalan perempuan dalam mengakses teknologi dan arti penting literasi digital dalam pemberdayaan perempuan.

Bagian kedua membahas tentang dimensi-dimensi pengetahuan dalam literasi digital dan lingkup kompetensi literasi digital. Bagian kedua akan dibahas di seri kedua diskusi Perempuan dan Literasi Digital pada 16 Juli 2021.

Sedangkan bagian terakhir memaparkan hasil riset lapangan tentang penggunaan media digital oleh perempuan dan kontribusi literasi digital dalam menjawab persoalan tersebut. Bagian ini akan dibedah bersama penulis-penulisnya pada seri ketiga, tepatnya pada 23 Juli 2021 mendatang. [mashita/dikomugm]